Menenun Demokrasi dari Luwu, Bumi Sawerigading
Ditulis oleh Komisioner KPU Kabupaten Luwu
(Refleksi dua tahun masa jabatan 2023–2028)
Desember 2025, Dua tahun perjalanan kami menjalani amanah sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Luwu telah menjadi ruang pembelajaran yang penuh makna. Di periode 2023–2028 ini, kami menyaksikan bagaimana kerja penyelenggaraan pemilu dan pemilihan (baca: pilkada) tahun 2024 bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga kerja kebudayaan—tentang bagaimana menjaga kepercayaan publik, menumbuhkan partisipasi, serta memelihara dan mengelola harmoni sosial di tengah perbedaan yang merupakan nilai terpenting dari penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan.. Dalam rentang itu, Luwu melaksanakan Pemilu dan Pemilihan (baca: Pilkada) yang relatif kondusif, aman, dan damai — hasil kerja kolektif yang patut direnungkan.
Luwu beruntung memiliki masyarakat yang matang secara politik. Pemilu dan Pilkada yang berjalan kondusif, aman, dan damai bukan terjadi begitu saja. Ia lahir dari kolaborasi yang erat antara penyelenggara, peserta, pemerintah daerah, aparat keamanan, media, dan tentu saja warga yang semakin dewasa dalam mengekspresikan hak pilihnya.
Bagi kami, keberhasilan ini adalah bagian dari proses panjang menenun demokrasi. Demokrasi, seperti kain tenun Luwu, memerlukan kolaborasi, kesabaran dan ketekunan yang berkelanjutan. Setiap helai benangnya adalah kerja kepercayaan—antara warga dengan penyelenggara, antara peserta dengan pemilih, antara harapan dan kenyataan.
Kami juga menyadari bahwa suasana yang damai bukan berarti tanpa dinamika. Dalam setiap tahapan, selalu ada riak kecil—perbedaan pendapat, persepsi, bahkan kecurigaan. Namun di situlah makna demokrasi diuji. Riak itu bukan tanda keretakan, tetapi bukti bahwa masyarakat kita hidup dan peduli. Tantangannya adalah bagaimana riak itu dijaga agar tidak menjelma menjadi gelombang. Di Luwu, kami belajar bahwa dialog, keterbukaan informasi, dan kerja sama lintas pihak adalah kunci meredam ketegangan dan mengubah potensi gesekan menjadi ruang pembelajaran politik yang sehat.
Langkah-langkah kecil tapi berarti terus kami lakukan. Sosialisasi yang transparan, koordinasi dengan pengawas dan aparat keamanan, serta pendidikan pemilih yang melibatkan berbagai komunitas menjadi prioritas. Kegiatan kepemiluan non-tahapan juga kami jadikan wadah menumbuhkan kesadaran politik warga agar demokrasi tidak berhenti di bilik suara, tetapi hadir dalam keseharian.
Dalam menjaga harmoni demokrasi, kearifan lokal Luwu menjadi sumber inspirasi yang tak ternilai. Sipakatau mengajarkan kami untuk saling memanusiakan—menghargai setiap warga dengan hak dan martabat yang sama. Sipakalebbi menumbuhkan sikap saling menghormati dan memuliakan, terutama dalam perbedaan pilihan politik. Sementara sipakainge mengingatkan agar kita saling menasihati dengan cara yang bijak, menjaga etika dan keadaban dalam berpendapat. Nilai-nilai ini kami yakini sebagai fondasi moral yang memperkuat sendi-sendi demokrasi lokal yang terkonversi menjadi penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan yang berbudaya dan bermartabat.
Dua tahun perjalanan ini telah menunjukkan bahwa menjaga demokrasi bukan semata tentang menggelar pemilu dan pemilihan yang sukses secara administratif. Lebih dari itu, ia adalah tentang membangun kepercayaan—tentang bagaimana masyarakat merasa dilibatkan, dihargai, dan didengar.
Menenun demokrasi berarti terus merajut nilai-nilai itu menjadi satu kesatuan yang utuh. Setiap periode pemilu adalah benang baru dalam kain kebangsaan yang terus tumbuh. Selama benang kejujuran, kebersamaan, dan integritas tetap dijaga, maka dari Luwu akan selalu lahir cerita indah tentang bagaimana demokrasi tumbuh: tidak gaduh, tapi tangguh; tidak bising, tapi berakar kuat di hati masyarakatnya.